Di Indonesia pemanfaatan teknologi komunikasi bagi dunia pendidikan baru dirintis sejak tahun 60-an yang ditandai dengan serangkaian pengkajian untuk masalah tersebut. Kesimpulan yang dihasilkan pada umumnya menyatakan dimungkinkannya pencapaian sasaran pendidikan melalui pengembangan teknologi komunikasi pendidikan, termasuk didalamnya siaran radio dan televisi. Perlu dicatat bahwa pada akhir tahun 1971 mulai diadakan semacam percobaan atau eksperimen siaran radio (belum televisi) pendidikan pada empat propinsi sekaligus dengan tujuan yang berbeda. Di Jawa Tengah untuk peningkatan pengetahuan guru-guru SD, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bertujuan guna meningkatkan efektivitas pelajaran SD dan SMP, di Irian Jaya dalam rangka memberi peluang atau kesempatan bagi guru-guru SD untuk memperoleh ijazah SPG, dan di DKI Jakarta bertujuan untuk membantu mengembangkan Proyek Pembaharuan Kurikulum dan Metode Mengajar. Pada tanggal 7 September 1973 diterbitkan SKB antara Ketua Badan Pengembangan Pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dengan Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Departemen Penerangan) mengenai kerja sama penyelenggaraan siaran pendidikan (siaran sekolah). Bahwa pemerintah, di dalam hal ini Depdikbud, sangat berkepentingan terhadap pemanfaatan teknologi komunikasi dalam dunia pendidikan kiranya memang tidak diragukan. Depdikbud sendiri dalam struktur birokrasinya mempunyai pusat pengembangan untuk kepentingan tersebut yang dikoordinasi oleh Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom Dikbud). Pada sisi yang lain pihak swasta pun dalam perkembangannya menaruh perhatian pada pemanfaatan teknologi komunikasi tersebut. Sampai saat ini setidak-tidaknya ada tiga program besar tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dalam dunia pendidikan di Indonesia, masing-masing adalah program SMP Terbuka (SMPT), program Universitas Terbuka (UT), serta program Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Secara konseptual SMPT dikembangkan untuk mempertinggi daya tampung SLTP sekaligus meratakan pelayanan pendidikan dasar. Pada waktu SMPT dicanangkan di tahun 70-an yang lalu daya tampung SLTP masih sangat rendah. Jasa teknologi komunikasi, di dalam hal ini modul dan program audio, dimanfaatkan untuk mensukseskan SMPT. Siswa tidak perlu mengikuti pelajaran secara reguler akan tetapi cukup memanfaatkan media yang ada. Pada akhir program siswa SMPT diperkenankan mengikuti evaluasi atau ujian akhir bersama-sama dengan siswa-siswa SMP reguler. Materi soal evaluasi akhir dan kriteria kelulusannya pun sama sehingga “nilai” sertifikat SMPT tidak berbeda dengan sertifikat SMP reguler. Salah satu hasil evaluasi terhadap program SMPT dinyatakan sebagai “tidak mengecewakan”; adapun indikatornya antara lain pada tingkat kelulusan, kemandirian serta kelanjutan studi para lulusan SMPT. Berbeda dengan SMPT, UT secara konseptual didisain pada awalnya untuk menampung “ledakan” lulusan SLTA, terutama SMU. Perguruan tinggi reguler, PTN, PTS dan PTK, terbukti tidak mampu menampung lulusan SLTA secara keseluruhan; dan akhirnya UT dijadikan pilihan. Semula UT berhasil menampung sekitar 70.000 mahasiswa baru dalam sekali angkatan. Pada saat ini belum ada satupun perguruan tinggi yang sanggup menampung mahasiswa TPI yang didirikan 23 Januari 1991 bertujuan untuk menyajikan program-program yang dapat menunjang pelaksanaan pendidikan di sekolah, SLTP, SMU dan pendidikan di luar sekolah. Misi TPI membantu mewujudkan hak seluruh warga negara Indonesia guna memperoleh pengajaran. Misi TPI ini lalu dideskripsi pada berbagai paket siaran yang komposisinya: siaran berita 12,50%, pendidikan sekolah 16,60%, pendidikan luar sekolah 16,60%, hiburan 31,90%, siaran niaga 20,00%, dan acara penunjang 2,40%. Kehadiran TPI sekaligus merupakan manifestasi kepedulian swasta untuk memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dalam dunia pendidikan. Perkembangan TPI cukup konstruktif kalau dilihat dari jumlah jam siaran dan mutu penyajian program; namun berbagai keluhan masih sering dikomunikasikan masyarakat kepada penyelenggara TPI, antara lain menyangkut waktu siaran, misi siaran, kesesuaian program, segmentasi dan sebagainya. Program yang tadinya dirancang oleh TPI sebaiknya disiarkan saja pada TVRI regional sehingga masing-masing “daerah” bisa menyesuaikan waktu (WIT, WITA, WIB) dan “local content” (pendidikan yang paling relevan untuk daerah itu). Bantuan keuangan semakin diperbesar untuk provinsi. Bisa juga tiap sekolah diberi paket video pendidikan mata pelajaran inti yang distandardisasikan misalnya matematika, budipekerti, bahasa (Indonesia, Cina, Inggris).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar